Amir Syamsudin berumur 35 tahun,
istrinya (Shinta Masarani) berumur 30 tahun ddan belum dikaruniai anak. Mendatangi
klinik IVF bunda ceria untuk mengikuti program bayi tabung. Dari program
tersebut diperoleh delapan embrio, empat ditranslasikan dan 4 sisanya dibekukan
untuk penggunaan selanjutnya. Dan dititipkan di klinik.
9 bulan kemudian Ibu Shinta melahirkan 2
anak kembar laki-laki dan perempuan dinamai Andi Syamsudin dan Shinta Syamsudin.
4 tahun kemudian, empat keluarga ini kecelakaan yang mengakibatkan seluruh
angota Syamsudin meninggal dunia. Sehingga keberadaan 4 embrio di klinik IVF Bunda Ceria terlupakan.
Dua tahun setelah kejadian iniada seorang peneliti dari ITB dating ke klinik
untuk mendapatkan embrio untuk penelitiannya.
Pada saat itu klinik Bunda Ceria
menyadari bahwa embrio keluarga Syamsudin tidak ada yang memiliki.
Pertanyaannya
:
1.
Apakah klinik IVF Bunda Ceria memiliki
hak terhadap embrio keluarga Syamsudin?
2.
Jika tidak, Siapa yang berhak menguasai
embrio tersebut?
3.
Jika nda menjadi orang yang berhak menguasai
terhadap embrio keluarga Syamsudin, apa apa yang anda lakukan terhadap embrio tersebut?
Penjelasan
:
Dari studi kasus di atas, maka harus
ditinjau dari beberapa aspek pokok bahasan. Yaitu, dengan menulusuri apakah
embrio sudah dikatakan individu? Selanjutnya Status moral dari embrio pasangan (Alm) Amir
Syamsudin – shinta masarani dapat
ditelusuri dengan kita mengetahui dasar-dasar pertimbangan penentuan status
moral dari suatu individu. selain itu juga perlu diketahui beberapa landasan
baik dari segi hukum dan etika yang mengatur proses in vitro fertilization (IVF).
Definisi
embrio dan Teknologi Fertilisasi
Embrio merupakan tahapan perkembangan
organisme multiseluler. Pada manusia, embrio ini dimulai dari zigot hingga
struktur tubuh muncul, yaitu sekitar minggu kesembilan masa kehamilan (Campbell
et al., 2006). Proses pembentukan embrio dimulai dari fertilisasi, yaitu proses
meleburnya sperma dengan sel telur sehingga terbentuk zigot. Zigot ini kemudian
akan mengalami proses perkembangan dan membentuk embrio multiseluler hingga
menjadi organisme dengan organ yang lengkap (Campbell et al., 2006). Proses
fertilisasi ini dapat berlangsung secara internal (di bagian anterior oviduct)
maupun eksternal. Fertilisasi eksternal buatan berlangsung secara in vitro
dalam medium menyerupai lingkungan fertilisasi internal atau eksternal alami
yang dilakukan dengan campur tangan manusia. Fertilisasi in vitro telah
dilakukan pada beragam hewan, termasuk manusia. Fertilisasi in vitro pada
manusia merupakan bagian dari upaya penanganan dan/atau pengobatan
infertilitas. Dalam hal ini, infertilitas dianggap sebagai sebuah penyakit atau
cacat sistem reproduksi yang mana setiap manusia yang mengidapnya memiliki hak
untuk sembuh dari penyakit tersebut (konsep The Sick Role, Talcott Parsons)
sehingga hak reproduksinya terpenuhi. Di dunia, 10% dari pasangan yang ada
memiliki ketidakmampuan reproduktif tanpa bantuan fertilisasi buatan.
Embrio
apakah persona atau bukan
mulai fertilisasi (terbentuknya zigot)
timbul kehidupan manusiawi yang baru. Soalnya apakah zigot dan perkembangannya
yang kita sebut embrio muda itu sudgah dianggap individu manusiawi dalam arti
penuh atau “persona”? kini filsuf yang menalami masalah ini pada umumnya mnejawab:
tidak. Mengapa? Karena embrio muda belum mempunyai individualitas penuh.
Kesulitan pokok adalah kemungkinan pengembaran (Twinning), seperti yang terjadi. Kalau embrio muda itu dalam bentuk
blastocyst delapan sel dan semua sel itu memiliki kapastias berkembang ke dalam
manusia dewasa yang lengkap (totipotent), maka sulit sekali menganggap embrio
muda itu sebagai persona. Demikian pula kemungkinan terbentuknya chimera (fusi dari dua zigot) menghindarkan
untuk menganggap dua zigot sebelumnya sebagai persona. Apalagi hanya sebagian
kecil dari sel-sel embrio muda akan menjadi manusia. Sebagaimana telah dijelaskan
oleh seorang ahli embriologi, C.R. Austin, “the whole embryo does not become
the fetus – only a small fraction of the embryo is thus involved, the rest of
it continuing as the placenta and other auxiliary structures”.
Aturan hukum etika fertilisasi
Etika fertilisasi buatan belum dicantumkan secara eksplisit
dalam Buku Etik Kedokteran Indonesia. Meskipun begitu, dalam aturan yang
bersifat lebih umum teknik fertilisasi in vitro pada manusia
telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 yang
merupakan revisi dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 sebagai berikut.
Ayat 1 Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a.
hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
b.
dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c.
pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
d. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 39 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Berbantu telah diatur ketentuan umum, ruang lingkup, persyaratan, izin
penyelenggaraan, tata laksana perizinan, pencatatan dan pelaporan, pembinaan
dan pengawasan, penelitian dan pengembangan, ketentuan peralihan dan ketentuan
penutup fertilisasi in vitro. Berdasarkan aturan ini, disusunlah
Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus
dan Swasta, Departemen Kesehatan RI yang secara singkat memiliki isi sebagai
berikut.
- Pelayanan fertilisasi in vitro hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sel telur dan sperma dari suami-isteri yang bersangkutan.
- Pelayanan ini merupakan bagian pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
- Embrio yang dapat dipindahkan ke dalam rahim dalam satu waktu tidak lebih dari tiga. Pemindahan empat embrio dapat dilakukan jika memenuhi satu dari tiga keadaan sebagai berikut.
·
Rumah
sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif bagi bayi yang baru lahir.
·
Pasangan
suami-isteri sebelumnya telah mengalami minimal dua kali kegagalan prosedur
fertilisasi in vitro.
·
Usia
isteri lebih dari 35 tahun.
- Surogasi dalam bentuk apapun dilarang dilakukan.
- Jual beli embrio, sel telur dan spermatozoa dilarang dilakukan.
- Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk tujuan penelitian. Penelitian mengenai embrio manusia hanya dilakukan setelah tujuan penelitian dirumuskan dengan sangat jelas.
- Dilarang melakukan penelitian terhadap dan/atau dengan menggunakan embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal fertilisasi.
- Kultur in vitro embrio tidak boleh dilakukan lebih dari 14 hari sejak fertilisasi (tidak termasuk cryopreservation).
- Dilarang melakukan penelitian dan/atau percobaan terhadap atau dengan menggunakan embrio, sel telur atau spermatozoa manusia tanpa ijin khusus dari siapa ia berasal.
- Dilarang melakukan fertilisasi antar-spesies kecuali jika digunakan sebagai metode mengatasi atau mendiagnosis infertilitas manusia. Setiap hibrid trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap dua sel.
Dari beberapa landasan hukum dan etika yang dipaparkan di
atas, proses fertilisasi in vitro merupakan proses yang dapat dilakukan tetapi
dengan batasan-batasan hukum yang cukup mengikat. Dari pedoman di atas pun
diketahui bahwa embrio yang boleh digunakan adalah embrio yang maksimal berumur
14 hari.
Status
moral embrio muda
Dalam
rangka etika, pertanyaan penting adalah apa yang menjadi konsekuensi dari pembahasan
in bagi status sosial embrio muda. Pada periode ini, diferensiasi terjadi dalam
tingkat sangat terbatas dan sel (embryoblas) masih bersifat pluripoten (mampu
berdiferensiasi menjadi semua jenis sel). Secara umum, sel telah memenuhi
syarat makhluk hidup secara biologis seperti bernafas, membutuhkan sumber
energi, melakukan metabolisme, bergerak, iritabilitas dan melakukan proses
reproduksi. Meskipun begitu, untuk menentukan apakah embryo 14
hari memiliki posisi dalam moral, kita harus merujuk pada definisi “hidup” yang
terikat konsep moral dalam etika. Hal ini, dapat diawali dengan melihat prinsip
utama dari Bioetika yaitu otonomi.
Dalam
pandangan etika dan moral (antroposentris), hanya manusia yang dianggap
memiliki hak dan tanggungjawab moral serta hanya manusia yang memiliki nilai
dan mendapat perhatian (Steinbock, 2007). Kehidupan manusia dalam kerangka
Bioetika dimulai saat ia memiliki kehendak, kemampuan dan wewenang untuk
memutuskan nasibnya sendiri sesuai dengan konsep respect to autonomy.
Dalam bahasa lain, manusia seutuhnya terbentuk saat ia berwujud organisme
dengan kesatuan kemampuan untuk menentukan perkembangannya sendiri (Steinbock,
2007).
Dalam
kasus ini, embrio alm. Amir Syamsudin- Shinta Masarani mempunyai status moral
setelah berumur diatas 14 hari, sesuai yang di utarakan dalam perturan di
Indonesia dimana mengatahan bahwa hasil fertilisasi buatan tidak boleh
ditumbuhan secara in vitro melebihi usia 14 hari sejak fertilisasi.
Berdasarkan pandangan di atas, maka
status embryo dalam usia perkembangan 14 hari dianggap belum belum bernyawa.
Artinya, embryo milik alm. Amir Syamsudin- Shinta Masarani merupakan makhluk
hidup secara biologi, namun bukan manusia (hidup) yang memiliki posisi
moral.
Jawab
:
1.
Dalam
kasus embrio
dari alm. Amir Syamsudin dan Shinta Masarani, pihak klinik IVF Bunda Ceria tidak
memiliki hak untuk memberikan embrio tersebut pada mahasiswa ITB untuk
penelitian, karena pihak klinik Bunda Ceria dan keluarga hanya memiliki
kesepakatan untuk menyimpan embrio tersebut, bukan untuk kepentingan penelitian.
2.
Berdasarkan
penjelasan
di atas,
maka embrio keluarga alm Amir Syamsudin dan Shinta Masarani bukanlah individu
penuh atau bukanlah persona yang sudah memiliki hak-hak moral, oleh karena itu hukum yang digunakan
dalam kepemilikan embrio ini adalah hukum waris. Dimana
hak waris tersebut adalah jatuh pada keluarga terdekat dari alm. Amir Syamsudin dan Shinta. Walaupun ahli
waris tersebut tidak mengetahui apa tujuan dari embrio alm Amir Syamsudin dan Shinta
digunakan untuk apa dimasa depan. Namun ahli waris emrio ini mempunya hak penuh
dalam kepemilikan embrio bahkan menentukan nasib embrio alm. Amir Syamsudin dan
Shinta.
3.
Dengan beberapa pertimabangan di atas,
jika saya memiliki wewenang dalam kepemilikan embrio dar alm. Amir Syamsudin dan
Shinta Masarani, saya akan memberikan embrio tersebut untuk mahasiswa ITB guna
untuk dilakukan penelitian. Hal ini disebabkan karena beberapa pertimbangan. Yaitu:
jika dilakukan pembuahan dan dikembangkan untuk menjadi manusia baru, nasib
embrio tersebut menjadi anak yang tidak jelas statusnya karena berasal dari
embrio yatim piatu. Apalagi ketika dalam Rahim, harus berada dalam rahim wanita
lain yang bukan ibu kandungnya. Sehingga saya mengambil keputusan untuk
memberikan embrio tersebut kepada mahasiswa ITB untuk dilakukan penelitian,
agar supaya berguna untuk orang banyak serta untuk kepentingan pengetahuan.
Daftar
pustaka
Campbell, Neil A, Jane B Reece, Martha R Taylor, dan
Eric J Simon. 2006. Biology Concepts & Connections, Fifth Edition.
Pearson: Benjamin Cummings. San Fransisco.
K Bertens, 2003, Keprihatinan Moral,
Yogyakarta , Kanisius
Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 834/MENKES/SK/IX/2009
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca.
Steinbock, B. 2007. “Autonomy”. The Oxford
Handbook o Bioethics. New York: Oxford University Press Inc.
Steinbock, B. 2007. “Moral Status, Moral Value, and
Human Embryo: Implications for Stem Cell Research”. The Oxford Handbook o
Bioethics. New York: Oxford University Press Inc.
Undang-Undang
Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal 127.
Yendi, dr.
2011. Hukum Teknologi Reproduksi Buatan. Perkembangan Hukum Teknologi
Reproduksi Buatan di Indonesia. http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi-reproduksi-buatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar